Minggu, 13 Desember 2009

Mengenal Theologi Politheisme (Yunani)


Istilah-istilah politheis, monotheis, atheis, theis, henotheis, duotheis, pantheis, deis, dan lain-lain adalah hasil penamaan dari para ilmuwan sosiologi dan antropologi di masa modern (dengan meminjam etimologi dari bahasa Yunani). Ini adalah bagian dari proyek pencerahan agar ilmuwan Barat bisa ‘menamai’ dan ‘mengerti’ dengan jelas dunia di sekitarnya. Istilah politheisme sendiri diciptakan sebagai pembanding dari monotheisme.


Politheisme, dalam berbagai turunannya, yang bisa dikatakan sebagai keyakinan mula-mula sebelum datangnya agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, Islam—selanjutnya disingkat YKI), sebenarnya adalah keyakinan yang sangat ‘natural’ sifatnya dibanding monotheisme YKI. Natural di sini berarti bahwa manusia pada dasarnya, pada awalnya, mencerap dunia dan alam semesta (kosmos) di sekitar dia hidup dengan persepsinya yang humanistik atau manusiawi. Dia mencerap dunia sesuai dengan apa yang dia alami sehari-hari, dan sangat lokal sifatnya, berdasarkan pada apa yang dia rasakan di sekitar dia. Oleh karena itu, politheisme biasa disebut dengan istilah ‘agama bumi’ atau ‘earth-based religion’.


Sedangkan monotheisme, terutama keyakinan YKI, tidak seperti itu. Mereka sangat mengandalkan wahyu dari langit, semacam wangsit. Oleh karena itu, mereka biasa disebut sebagai ‘agama langit’ atau ‘sky-based religion’. Tuhan YKI adalah tuhan yang maha esa, maha hebat, maha segalanya, sehingga dia bahkan bisa melangkahi hukum alam yang diciptakannya sendiri, misalnya dengan membuat mukjizat dan hal-hal yang sangat irasional. Politheisme terutama Hellenismos (Rekonstruksi Politheisme Yunani) tidak setuju dengan definisi tuhan maha esa (maha satu) yang maha hebat, maha segalanya, bisa melangkahi hukum alam yang diciptakannya sendiri, membuat mukjizat dan hal-hal yang sangat irasional, karena tuhan yang seperti itu sangat oxymoron, rancu, dan tidak dapat dipahami dengan akal sehat.


Hellenismos menekankan ketuhanan yang dapat dipahami dengan akal sehat (“The Gods of Reason”, seperti judul buku Timothy J. Alexander, seorang Hellenis). Selain itu, Hellenismos menekankan etika yang humanistik. Kami melihat konteks etika dengan kacamata manusiawi, mencari “ideal” atau yang terbaik dari dan untuk manusia, sehingga itulah yang menjadi hukum bersama. Tidak seperti agama YKI yang etikanya bagaikan jatuh dari langit, seperangkat ‘syariah’ dari tuhan di langit yang harus dijalankan manusia di bumi.


Menurut saya, politheisme lebih ‘natural’ buat manusia dibanding monotheisme. Saya pikir, ketika Nabi Ibrahim (Bapak kaum YKI) mengubah ‘posisi’ tuhan, yang tadinya di materi-materi yang eksis di sekitar kita, lalu pindah ke langit yang jauh, bahkan tak terjangkau oleh akal pikiran kita sebagai manusia biasa, justru membuat saya jadi jauh dengan ‘tuhan’ saya. Kenapa yang tadinya sudah dekat dibikin jauh? Ini tidak masuk akal dan sangat tidak manusiawi. Argumen Nabi Ibrahim kira-kira seperti ini: “Kenapa harus memuja matahari dan bulan? Seharusnya ada subjek yang lebih besar dari matahari, bulan, bintang, dll. Pasti ada sesuatu yang berdiri di belakang itu karena dia adalah pencipta semua benda langit itu, dan dialah yang seharusnya kita sembah.” Namun, orang seringkali tidak paham bahwa pemuja dewa-dewi bukanlah pemuja benda-benda yang ada di langit dan bumi (lengkapnya mengenai hal ini lihat di esai saya yang lain).


Sejumlah pertanyaan sulit yang tak terjawab oleh monotheisme
Agama YKI memuji konsep Ibrahim karena konsepnya lebih rasional. Konsepnya menekankan tuhan yang maha esa itu maha kuasa dan maha segalanya. Lagi-lagi menurut para Hellenis konsep itu justru tidak masuk akal. Kalau tuhan yang maha esa itu maha segalanya, lalu kenapa masih ada kejahatan di bumi ini? Kalau tuhan maha segala, omni-present (hadir di mana-mana), berarti kejahatan adalah bagian dari dia juga. Kalau orang membantah dan bilang bahwa kejahatan bukanlah bagian dari diri tuhan, tapi bagian dari iblis/setan/whatever, sekaligus mengatakan bahwa tuhan adalah maha segalanya, berarti sebenarnya yang mau dikatakan adalah ‘iblis juga bagian dari tuhan, dia adalah ciptaan tuhan juga, dibuat untuk menggoda manusia’.


Hal itu benar-benar berbenturan dan sangat tidak masuk akal. Kenapa tuhan yang katanya maha baik itu, tega menciptakan iblis dan kejahatan? Bagaimana mungkin kejahatan adalah juga bagian dari diri tuhan yang maha baik itu? Pasti dia itu tuhan yang skizofrenik. Tuhan yang baik sekaligus tuhan yang jahat. (Tanpa maksud melecehkan orang-orang yang bersetuju dengan konsep ‘skizofrenia’-nya filsuf Gilles Delleuze dan Felix Guattari. Istilah ‘skizofrenik’ yang saya maksud adalah ‘situasi yang teramat asing bagi manusia, bahkan bagi mereka yang ‘gila’ sekalipun.’)


Kalau YKI berargumen bahwa iblis diciptakan oleh tuhan sebagai ujian bagi manusia untuk menentukan apakah dia mau ikut jalan tuhan atau jalan iblis, berarti tuhan YKI memang tuhan yang egois. Karena dia adalah tuhan yang super-power dan maha benar, maka dia berhak menentukan bahwa orang-orang yang tidak mau meyakini bahwa dia itu benar, adalah orang-orang berdosa dan mereka adalah pengikut jalan iblis. Ini benar-benar tuhan yang childish, kejam, dan memperlakukan kita layaknya boneka. Dia seakan-akan mencemplungkan manusia ke bumi sebagai tempat ujian, “heh elu bertindak sesuai dengan keinginan gue, kalo kagak, imbalannya neraka!”


Sungguh malang kita diciptakan sebagai manusia. Kalau seperti itu, mendingan kita tidak usah diciptakan sekalian, kan? Iman terhadap tuhan yang seperti itu adalah iman yang benar-benar dangkal, kita cuma dikasih jalan dua: ke surga atau ke neraka. Manusia tampak berusaha keras sepanjang hidupnya untuk tidak menyimpang ke neraka, bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi atau menyangkal kemanusiaannya sendiri. Benar-benar tuhan yang non-sense, irasional, otoriter, dan kejam.


Hellenismos adalah hard polytheism
Oleh karena itu kita harus membedakan antara hard polytheism dan soft polytheism, atau politheisme keras (politheisme murni) dan politheisme lembut (yang cenderung mengarah ke monotheisme). Hellenismos adalah hard polytheism, karena dia tidak setuju dengan konsep soft polytheism bahwa para dewata yang banyak itu sebenarnya cuma cerminan dari satu dewa/dewi. Soft polytheism menganggap bahwa para dewata yang jamak sebenarnya cuma pembanyakan dari satu dewa atau the great cosmic being (seperti henotheisme), atau dari satu dewa dan satu dewi (seperti konsep dualisme dalam Wicca, salah satu agama di bawah payung Neo-Paganisme).


Hellenismos tidak seperti itu. Walaupun Hellenismos percaya bahwa Zeus adalah dewa yang ‘mengepalai’ semua dewa, tapi dewa-dewi yang lain bukanlah pembanyakan dari diri Zeus. Mereka adalah entitas yang berbeda satu sama lain. Walaupun Zeus seringkali diceritakan bahwa Dia selalu menuntut kepatuhan dari dewa-dewi lainnya, tapi toch pada prakteknya semua dewa-dewi bertindak secara otonom dan masing-masing adalah pribadi yang unik. Masing-masing dewata memiliki wilayah kekuasaan/realm sendiri-sendiri yang bahkan sering bertentangan satu sama lainnya. Bagi yang sudah terbiasa dengan konsep monotheisme memang bakalan agak susah memahami konsep politheisme, karena kita dari kecil rata-rata dibiasakan untuk memercayai bahwa monotheisme adalah kebenaran absolut dan konsep lain dianggap tidak masuk akal. Apalagi ayat 1 dalam Pancasila menekankan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Lalu kenapa saya bisa percaya dengan konsep hard polytheism dalam Hellenismos? Karena saya memang tidak setuju dengan konsep monotheisme, juga soft polytheism yang cenderung mengarah pada monotheisme. Bagi saya, politheisme murni seperti yang ada dalam Hellenismos lebih masuk akal, karena “tuhan(-tuhan)” yang saya percaya akan lebih ramah dan lebih kaya jika jumlahnya banyak dan sifatnya berbeda-beda, ketimbang cuma satu atau dua dewa/dewi yang sifatnya ‘ya begitu aja’ atau justru ‘maha segalanya’. Bagi saya, Mereka (saya lebih suka menyebut ‘tuhan(-tuhan) saya dengan istilah ‘Mereka’ atau ‘Dewata’, ketimbang ‘tuhan’ doang atau ‘pencipta’) membuat hidup saya jadi ramai dan berwarna-warni. Saya bisa berinteraksi dengan beragam sifat dan wajah Mereka yang bertolak belakang satu sama lain, sering bertengkar, tapi sebenarnya Mereka fine-fine saja dan rukun. Bahkan, di balik gontok-gontokan itu Mereka saling menghargai satu sama lain dan selalu berpesta bersama (bahkan mabuk bersama sampai teler dan pingsan!).


Mungkin itu alasannya mengapa Dewa-Dewi Olympus sering disebut sebagai “keluarga” (dan dalam mitologi Mereka memiliki hubungan darah, apakah ayah, ibu, anak, paman, tante, keponakan, dll). Mereka memang sering cekcok, tapi toch Mereka tetap tidak dapat berpisah. Walaupun saya dan umumnya Hellenis punya ketertarikan terhadap satu atau beberapa Dewa/Dewi ketimbang yang lain, tapi kami tahu bahwa Dia adalah bagian dari Pantheon yang besar, bagian dari keluarga yang disebut Olympus. Oleh karena itu, kami juga tidak lupa memuja dan menghormati para Dewa/Dewi lainnya. Ini adalah agama yang semarak dan tidak egois. Agama yang ramah dan masuk akal (terutama bagi orang yang percaya akan keniscayaan pluralisme dalam kehidupan. Buat orang-orang yang—entah kenapa—mengharamkan pluralisme, tentu saja hal ini susah dimengerti!)


Inilah bagian yang teramat menyentuh saya secara feeling atau sense and sensibility. Konsep dewata yang seperti ini sebenarnya mencerminkan kondisi manusia, bahwa di bumi ini kita benar-benar beragam, bertolak-belakang satu sama lain, tapi why not kita rukun? Toh sebenarnya kita ini ya just living the life, jadi kenapa perbedaan itu dibikin ribut? Ini juga menjadi penjelasan mengapa para Dewata Olympus itu sangat antropomorfik alias sering digambarkan lewat patung dan gambar berbentuk manusia. Sosok Mereka sangat manusiawi, dengan wajah dan tubuh mirip manusia, kelakuan Mereka juga mirip manusia. Kaum Hellenis memahami kenapa orang Yunani menyimbolkan Dewata mereka secara antropomorfis. Alasannya adalah, dengan memuja dewata dalam gambaran itu, kita akan lebih mudah memahami tabiat Mereka. Masing-masing dewa-dewi punya kekuatan yang berbeda-beda, punya maksud dan tujuan yang berbeda. Adakalanya mereka bekerja sama, namun lebih sering berbenturan. Ini masuk akal. Lihatlah alam semesta (kosmos) yang chaos ini. Kacau tapi somehow tetap teratur. (Lengkapnya tentang filosofi ini, lihat esai saya yang lain).


Karena Dewata memiliki maksud dan tujuan yang berbeda, masing-masing juga punya pilihan untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu. Ini sama dengan ras manusia. Segala mitos, tradisi, dan apapun kisah yang menceritakan Dewata, punya satu pesan moral: bagaimana Dewata bergelut dengan pilihan-pilihan Mereka. Bagaimana aksi Mereka dapat berkontribusi kepada pilihan-pilihan yang diambil manusia. Bahkan para Dewata pun tidak kebal dengan pilihan-pilihan yang ada, Mereka juga sering salah pilih (bandingkan dengan Tuhan YKI yang seolah-olah tindakannya selalu benar). Tapi toch akhirnya amanat “mana yang benar” diserahkan kepada manusia itu sendiri. Theologi Yunani bukan semata-mata soal “benar” atau “salah”, tapi lebih kepada pilihan sikap/aksi kita, apakah menimbulkan kebaikan atau justru malapetaka. Tentunya, yang namanya pilihan, pasti banyak. Inilah ‘ruh’ atau ‘jiwa’ dari politheisme dalam Hellenismos, yaitu keberagaman.


Sebenarnya hal ini juga menjelaskan kenapa umat dari YKI itu saling gontok-gontokan antar mereka sendiri (padahal mereka, ironisnya, adalah saudara sekonsep, yaitu sama-sama ’umat Ibrahim’/‘umat ahli kitab’/Ahlul Kitab/People of the Book). Alasan saya mengkritik kaum monotheis YKI yang cupat adalah terutama karena sikap mereka yang merasa diri mereka paling benar. Sering kita lihat bagaimana mereka menyebarkan ajaran agama dengan cara yang cenderung memaksa. Tak heran, banyak orang yang tidak suka lagi dengan ajaran ketiga agama besar tersebut dan beralih menjadi atheis/agnostik. Mungkin saja sikap megalomania atau merasa benar sendiri itu berasal dari ‘psyche’ atau kesadaran jiwa mereka. Psike mereka sudah dikondisikan dengan konsep monotheisme, bahwa hanya ada satu tuhan yang benar. Di luar tuhan saya, itu tuhan yang palsu, salah, dan musyrik. Pandangan seperti itu pasti ditolak habis oleh para Hellenis, karena pandangan seperti itu sangat cupat dan tidak manusiawi. Sangat tidak seimbang dan berat sebelah, sangat tidak adil. Makanya, hal-hal semacam pemusnahan bid’ah, pembakaran buku, pembantaian umat agama tertentu, pemaksaan agar orang memeluk agama tertentu, perang suci (jihad), martir atau syahid, tidak ada dalam kebudayaan Yunani/Romawi kuno, karena buat orang Yunani/Romawi hal-hal seperti itu tak masuk akal karena pandangan dunia (worldview) mereka memang bukan begitu.


Sudut pandang yang beda terhadap ketuhanan
Plato bilang, “Kecemburuan berada di luar penjelasan keilahian”. Yang Ilahi tidak bisa diterjemahkan secara eksklusif, karena Mereka melampaui sekat-sekat perbedaan (tidak terbatas oleh perbedaan). Dalam mitologi, masing-masing dewa-dewi memang menuntut pemujaan yang layak dari manusia, namun tidak pernah sekali pun Mereka bilang bahwa kita tidak boleh memuja dewa-dewi yang lain. Contohnya begini, dalam karya Euripides “Hyppolitus”, Dewi Aphrodite menghukum Hyppolitus karena Hyppolitus “nyuekin” Dewi Cinta tersebut. Alasan Hyppolitus karena dirinya adalah seorang pemburu, makanya dia lebih suka memuja Artemis (Dewi Pemburu) dan mengesampingkan pemujaan terhadap Dewata lainnya. Sikap Hyppolitus sudah keterlaluan di mata Aphrodite. Suatu ketika, Hyppolitus lewat di depan patung Artemis dan Aphrodite yang berada di tempat yang sama. Kesalahannya adalah, dia memberi sesajen kepada Artemis saja, tapi Aphrodite tidak dikasih dan “dicuekin”. Parahnya lagi, Hyppolitus menghina Aphrodite sebagai “dewi yang gak penting”. Tentu saja, Aphrodite murka dengan sikap Hyppolitus tersebut. Itulah konsekuensi politheisme. (Agak mirip memang, dengan “apakah lelaki bisa adil jika poligami”, but that’s another story.)


Di situ sebenernya ada “pesan moral” politheis yang justru bertolak belakang dengan “pesan moral” monotheis: kita tidak bisa neglectful bahwa keilahian itu jamak. Hyppolitus itu seperti monotheis fanatik yang berkata bahwa “hanya satu tuhan yang benar, jadi gue nyembahnya satu aja, karena yang lain itu bukan tuhan.” Jadi, dia merasa berhak untuk bersikap tidak hormat terhadap “tuhan lain”. See...sikap kayak gitulah yang kerap dilakukan orang-orang yang gemar mengkafirkan orang beragama lain. Padahal tidak pernah sekali pun Aphrodite memerintahkan kepada Hyppolitus: “Hei, Hyppolitus, kamu gak boleh memuja Artemis! Sembahlah aku saja!” Tidak ada sama sekali dewata yang ngomong seperti itu, yang ada ialah Mereka berpesan, “Jangan lupakan bahwa aku (dan dewa-dewi yang lain-lain) itu ada dan juga patut dihormati. Jangan ngerasa benar sendiri dengan tuhan eksklusifmu”.


Yang jelas, Dewata tidak peduli apakah kita menyembah tuhan yang lain di samping Mereka. Kasarnya begini, kata Mereka, “Sebodo amat, elo mau nyembah buah nangka kek, mau nyembah Blackberry kek, selain nyembah gue juga, gue gak peduli.” Tapi yang penting bagi Mereka adalah, apakah kita dengan ikhlas memberikan pemujaan yang layak terhadap masing-masing Dewata, sehingga tidak ada satu pun dari Mereka yang merasa tidak dihormati “hanya karena kita gak begitu suka dengan dewa yang ini atau yang itu” atau karena “dewa yang ini atau yang itu gak terlalu berpengaruh buat hidup gue”. Ini adalah cara pandang yang berbeda dalam melihat ketuhanan. Menurut saya, theologi seperti itu membuka cakrawala berpikir kita. Bandingkan dengan konsep Tuhan YKI yang cenderung menyempitkan ketuhanan: “Tiada tuhan selain Allah” (Islam), “Aku (Yesus) adalah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada yang datang kepada Bapa selain melalui Aku” (Kristen), dan “Aku adalah allah yang pencemburu, jangan ada allah lain di sampingku” (Yahudi).


Politheisme tidak memungkinkan absolutisme
Oleh karena itu, dalam politheisme Yunani/Romawi tidak ada konsep absolut yang berlaku bagi semua pengikutnya. Kalaupun ada tradisi agama yang mengikat seluruh warga kota, itu karena kebiasaan yang berlaku dalam suatu polis (negara-kota, misalnya Athena, Sparta, Thrake, dll.). Lain polis, lain pula peraturan “agama” yang dijalankan. Jadi, kebiasaan di Athena berbeda dengan di Sparta, di Korinthus, di Siprus, di Lesbos, dan lain-lain. Yang jelas, dalam Hellenismos, tidak ada “kitab suci” dan tidak ada “nabi”. Percayalah, politheisme tidak memungkinkan adanya seorang nabi utusan tuhan dan sebuah buku suci yang dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena memang tidak mungkin untuk melakukan itu!


Bahkan, kependetaan atau keimaman dalam Hellenismos tidak sama dengan konsep imam di agama politheis lainnya, seperti Hindu, agama Babylonia, agama Mesir, agama Kanaan, dll. Di masa Yunani Kuno, pendeta (lelaki: hiero, perempuan: hiera) tidak berasal dari kasta “brahmana” atau golongan tertentu yang dianggap lebih tinggi atau lebih suci. Karena sistem politik Yunani Kuno adalah demokrasi, pendeta pun dipilih oleh warga kota secara rombongan/banyakan. Satu-satunya pertimbangan untuk dipilih adalah karena dedikasi orang tersebut terhadap dewa/dewi tertentu, bukan karena dia tampak lebih suci dibanding warga lainnya. Bahkan, kependetaan bisa dibeli dengan uang jika memang dia ingin memimpin upacara. Di masa itu, pendeta adalah semacam jabatan publik karena agama Yunani adalah agama publik/sipil, bukan seorang “wakil tuhan yang dikhususkan” atau semacam itu. Mereka hanya melayani upacara agama publik di kuil kota. Yang jelas, upacara-upacara yang sifatnya kecil di tingkat keluarga tidak pernah dipimpin oleh pendeta. Jadi, upacara kelahiran bayi, pernikahan, dan kematian dipimpin oleh kepala keluarga atau anggota keluarga lainnya yang ditunjuk, bukan pendeta atau ulama/penghulu seperti agama pada umumnya.


Di sisi lain, Hellenismos memang mengakui adanya “7 orang suci/bijak” atau “The Seven Sages”. Menurut sejarah arkeologis, salah satu dari mereka adalah Thales, filsuf Yunani pertama yang meneliti alam semesta. Mereka adalah para pendeta Dewa Apollo yang menulis Pepatah Delphi (Delphic Maxims) yang diyakini sebagai amanat dari Apollo mengenai kebijaksanaan. Tapi mereka tidak lantas “suci”, dalam arti lepas dari kesalahan manusiawi. Kaum Hellenis modern saat ini jelas memiliki kesadaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan memperlakukan Delphic Maxims sesuai konteksnya. Delphic Maxims tidak serta-merta dianggap sebagai “suara tuhan”. Contohnya, salah satu maksim berbunyi: “Kendalikan istrimu”. Kaum Hellenis modern memahami bahwa maksim tersebut harus dimaknai sesuai konteks sosial yang berlaku sekarang. Salah satu langkah adalah seperti yang dilakukan seorang Hellenis feminis dengan memberikan makna baru terhadap maksim tersebut, yaitu: “Kendalikan rumah tanggamu”. Itu bukti bahwa nilai-nilai agama yang patriarkal dan misoginis peninggalan masa lampau dapat dibuang kalau memang penganutnya bersedia!


Inilah mengapa Hellenismos adalah juga agama yang kontekstual, karena salah satu tugas dari Hellenismos (Rekonstruksi Politheisme Yunani) adalah mengadaptasikan agama Yunani Kuno ke dalam konteks masa kini. Beberapa hal tetap dipertahankan, beberapa hal memang harus diubah. Saya kira, ini sesuai dengan pesan Karen Armstrong, peneliti agama dan penulis buku Sejarah Tuhan. Karen mengatakan, agar bisa bertahan, agama harus berevolusi dan mengikuti semangat jamannya. Karena kalau tidak, agama itu lama-lama menjadi agama yang terbelakang dan kelak akan ditinggalkan oleh pengikutnya.


Disarikan dari berbagai sumber
Jakarta, Sabtu, 12 September 2009
Kharis Androgynou

Bookmark and Share

Minggu, 25 Oktober 2009

Crazy Dionysus


Written by Grace Dwitiya Amianti (Kharis Androgynou)



O, raving madness

You dwell upon this heart and mind

when I feel like trapped in routines

when I just want to release them all

when I’m not sure where I want to go

when only a thin line drawn between cry and anger

You are there


I found you in outrageous rhyme and loud music

where tones seem not in their right place

where growls and screams are banging my eardrums


I found you in wine-drinking

delirious revelry--though so not me

exhausting all night party


I found you in misspelled languages

strange habits, unpredictable actions

like someone’s yelling “fire” at the theatre*


But I also could find you in a lonely dark room

when this rush of mind makes me feel like my head is going to explode

when I can’t handle it anymore


Anarchy, it’s been so long

It’s so rare--the passion to destruct all things built

though you’re indestructible

and life itself always exists


Although I’m not one of your Maenads, ripping clothes off, eating raw meats, fleeting into orgies

though I’m a city dweller, far from your hidden caves and wild forests

I need you sometimes--just a tiny lesson, otherwise I’ll end up on streets eating garbage--

to dance with you carelessly, without anything to worry

so I can keep the balance

so I can accept the fact

that there’s always insanity, peeping through the holes

waiting for the right time to knock heads off--it will happen, sooner or later:

when people trust their logic blindly

when people think that they are always capable of everything

when people put Order as a monolithic, one true and only god


* from Every Time I Die song “Champing at the Bit”


Jakarta, October 25, 2009

03:05



Bookmark and Share

Minggu, 27 September 2009

Hukuman Rajam dan Absolutisme: Refleksi Pribadi


Hadirnya Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Senin (14/9), membuat saya terhenyak. Di dalam peraturan tersebut, terdapat hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) untuk pelaku perzinahan. Selain itu, terdapat hukuman cambuk dengan rotan sampai 100 kali untuk homoseks. Secara keseluruhan, peraturan tersebut melarang konsumsi alkohol (khamar), perjudian (maisir), keintiman antara pasangan yang belum menikah (ikhtilath), perzinahan serta homoseksualitas (musahaqah dan liwath).

Sebelumnya, seperti yang dilansir oleh Amnesty International, Aceh sudah menerapkan hukuman cambuk rotan untuk beberapa pelanggaran, yaitu perjudian, pencurian, dan pencabulan. Pada tahun 2005, sebanyak 31 laki-laki dan 4 perempuan terdakwa perjudian dicambuk rotan. Tahun 2006, sebanyak 5 laki-laki dan 3 perempuan terdakwa perjudian dan perzinahan kembali dirotan. Kali ini, hukuman rajam ditambahkan dalam peraturan tersebut. Berarti, hukuman mati di depan publik sudah mulai diterapkan di Aceh, seperti yang terjadi di Republik Islam Iran dan sejumlah negara yang menerapkan hukum serupa.


Saya terhenyak. Batin saya mungkin bisa dikatakan menangis, bahkan geram. Mengapa masih ada orang-orang di abad 21 ini yang memandang hukum agama dengan kacamata yang absolut. Walaupun negara ini sudah meratifikasi HAM PBB, tetapi toh pelaku “kriminal” masih diperlakukan dengan kejam. Banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Hukuman yang bersifat penyiksaan pun sudah dilarang sejak lama. Bahkan pemerintahan George W. Bush sudah tercoreng karena kasus penyiksaan tahanan teroris di penjara Guantanamo, Kuba, terungkap ke dunia internasional.


Sayangnya, negara kita rupanya lebih suka mundur ke masa-masa ketika hukuman fisik dan hukuman mati (capital punishment) merupakan satu-satunya cara bagi penguasa untuk menyingkirkan orang-orang yang mereka tidak sukai. Sayangnya lagi, kali ini hukuman tersebut diberi judul “hukum agama”. Ternyata, setelah ratusan hingga ribuan tahun lewat, orang yang mengaku lebih “beriman” dibanding orang lain, tidak berbanding lurus dengan jaman yang makin progresif dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang diterima oleh sistem demokrasi.


Saya menolak hukuman rajam dan bentuk-bentuk hukuman serupa karena orang perlu memikirkan kembali tentang nilai kemanusiaan. Bagaimana bisa hukuman rajam disebut sebagai hukuman yang manusiawi? Tuturkanlah seribu ayat pendukung jika memang Anda tidak sepakat dengan saya, namun saya tidak akan pernah menganggapnya sebagai kebenaran, karena “kebenaran itu relatif”. Saya pikir, semua orang, baik yang beragama maupun yang tidak, mau tidak mau dituntut untuk mempercayai bahwa kebenaran itu tidak absolut--kalau kita masih ingin disebut sebagai manusia beradab.


Harus diakui bahwa orang yang percaya pluralisme dan perbedaan, percaya pula bahwa kebenaran itu selalu bergantung pada konteksnya. Sebab, kebenaran absolut--kalau pun ada--hanya eksis di ranah pribadi. Keluar dari ranah pribadi, apa yang disebut “kebenaran” itu menjadi relatif adanya. Konsekuensinya, jika kebenaran absolut hanya eksis dalam keyakinan individual, kita tidak bisa memaksakan orang lain agar percaya pada keyakinan kita. Kita tidak bisa menegaskan bahwa si fulan atau fulanah pasti bersepakat dengan “kebenaran” menurut versi kita.


Inilah mengapa saya tidak setuju dengan hukum agama yang dinomorsatukan, sementara hukum negara dinomorduakan. Inilah mengapa negara demokrasi menekankan apa yang disebut dengan “separation of church and state”, pemisahan antara gereja (agama) dan negara. Karena sudah tentu, agama atau iman adalah urusan pribadi. Jangan dicampur-adukkan dengan urusan negara yang merupakan urusan bersama. Dengan pemahaman negara modern seperti ini, bagaimana mungkin, menghukum kriminal dengan hukum agama dapat dianggap sebagai sesuatu yang logis alias masuk akal? Bagaimana mungkin keyakinan pribadi dapat digunakan untuk menghukum orang lain? Ada mismatch di situ.


Refleksi dari perspektif spiritual

Itulah mengapa saya mengakui bahwa kebenaran absolut itu tidak mungkin ada. Ini juga berarti bahwa “kebenaran” itu sendiri tidak mungkin bisa kita pahami. Karena kita manusia, itu alasan utamanya. Dalam pemikiran dan sistem keyakinan yang saya dalami, ada nilai kemanusiaan yang saya tangkap, bahwa kita itu makhluk fana. Kita adalah makhluk yang serba terbatas, sehingga tidak mungkin untuk menjadi makhluk yang “maha” (In my own words, it is impossible for us aspiring like a god/goddess).


Dengan demikian, kebenaran absolut hanya milik Yang Abadi. Karena kita bukan Dia (jika Anda percaya keilahian yang tunggal) atau Mereka (jika Anda percaya keilahian yang jamak). Kita tidak akan bisa memahami kebenaran absolut karena kita dibatasi pada kondisi kefanaan kita. Karena kita makhluk fana, tidak mungkin bagi kita untuk menentukan atau menetapkan dengan pasti bahwa yang ini “salah” dan yang itu “benar”.


Kategori salah dan benar yang kemudian kita rangkum dalam “hukum agama” pada intinya hanya “tangkapan” kita sebagai manusia fana. Definisi yang kita buat tersebut hanyalah bersifat sementara atau tidak abadi, dengan demikian tidak bisa digunakan sebagai patokan mutlak untuk menilai atau menghukum sesuatu yang sifatnya sementara pula. Apalagi jika kita menegaskannya sebagai “inilah suara Tuhan!”. Saya pikir, itu kebablasannya kita sebagai manusia tak tahu diri.


Oleh karena itu, bagi saya yang terpenting adalah bagaimana kita harus menunda saja kebenaran dan menerima fakta bahwa keilahian tidak bisa didefinisikan. Ini berarti menerima secara legowo (lapang dada) bahwa maksud Ilahi juga tidak bisa direduksi menjadi sekadar perangkat aturan atau “syariat”. Jadi, kita tidak bisa bilang bahwa “Tuhan ngomong begini” atau “Tuhan menghukum pezina dan harus dirajam”. Sebab, bagaimana kita bisa membuktikannya secara empiris bahwa Tuhan berbicara pada si fulan atau fulanah bahwa si pezina harus dirajam?


Tidak akan pernah ada yang namanya bukti empiris bahwa Tuhan berbisik pada seseorang supaya orang yang berzinah dirajam. Dengan demikian, saya mungkin bisa dikatakan “kafir” karena meragukan ada orang spesial yang secara khusus dipilih menjadi utusan Tuhan. Saya sejujurnya tidak percaya akan hal-hal supernatural semacam itu. Apa yang ada ialah natural. Apa yang orang dengar dari alam semesta melalui telinga adalah semilir angin, kicau burung, canda tawa anak kecil, dan hal-hal yang natural serta empiris. Terserah orang mengatakan bahwa dia “mendengar” Tuhan berbisik padanya secara pribadi dan beberapa orang percaya padanya, namun satu-satunya yang tidak bisa lakukan adalah melakukan pemaksaan supaya orang juga meyakini apa yang dia yakini.


Inilah mengapa kefanaan kita akan selalu dan selamanya membatasi kita untuk meraih kebenaran absolut. Kondisi kefanaan kita selalu membatasi penilaian kita bahwa peraturan yang ini atau yang itu adalah “kebenaran”. Tetapi, kondisi kefanaan jangan dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau rendah. Achilles, tokoh dalam karya Homerus, Iliad, berkata, “The gods envy us” atau “dewa-dewi (atau Yang Ilahi) cemburu pada manusia”. Kalimat itu mengandung makna, kefanaan kita justru merupakan anugerah, karena kita memiliki hidup untuk digunakan secara optimal sebelum akhirnya kita menemui ajal. Segala batasan, seperti waktu, jasad, pemikiran yang kita punya sangat berharga. Bandingkan dengan Yang Abadi, tidak berbatas atau timeless. Karena itulah, kefanaan manusia merupakan nilai yang sangat berharga, karena bagi kita, “sekali berarti, sesudah itu mati”.


Kembali ke kemanusiaan

Dari situ, kita bisa melihat bahwa nilai manusia itu amat berharga. Nyawa manusia dan jasad yang dipunyainya adalah permata bagi kita sendiri sebagai makhluk berakal. Sekarang katakan, bagaimana caranya hukuman rajam dapat meninggikan nilai manusia?


Kita perlu melihat bahwa pada dasarnya manusia itu baik, dikasih akal untuk berpikir yang terbaik. Jadi, akal harus digunakan secara optimal, untuk merumuskan hukum yang baik dan menjunjung tinggi martabat manusia (memanusiakan manusia atau humanis). Bagaimana bisa dikatakan bahwa hukuman rajam, gantung, cambuk, potong tangan, sebagai produk hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia? Pada dasarnya hukum seperti itu sengaja merendahkan manusia hingga layaknya binatang yang didera, disiksa, ditimpuki karena dianggap jijik atau tidak pantas hidup di tengah-tengah masyarakat. Karena apa? karena dia dianggap lebih rendah dan lebih tidak berharga dibanding kita.


Penyiksaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang harus kita junjung tinggi sebagai manusia yang beradab. Seperti kata spiritualis Neale Donald Walsch, bahwa jika kita berpikir manusia itu pada dasarnya buruk dan jahat, maka kita akan bikin peraturan yang membuat manusia selalu punya kecenderungan jahat. Hukum rajam dan penyiksaan, hukuman mati memiliki landasan bahwa manusia harus dihukum seperti itu supaya jera. Tetapi itu berarti melihat manusia sebagai makhluk yang bodoh atau idiot sehingga jahat. Lingkaran setan akan terus berputar, masalah tidak akan selesai.


Apa manfaat atau benefit yang bisa didapat dari situ? Tidak ada. Cuma ketakutan orang supaya tidak melanggar peraturan, karena jika melanggar, hukumannya berat. Ini seperti mengatakan, saya beribadah karena takut masuk neraka. Sekarang coba kita ingat lagu milik Chrisye: “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud padanya?”. Itu adalah sentilan terhadap orang yang beribadah atau bermoral hanya karena dia takut nantinya tidak masuk surga. Bukankah iman seperti itu adalah iman yang rendah? Jadi tidak heran mengapa kecenderungannya sekarang lebih mementingkan “religious by fashion” dan berlomba-lomba menjadi yang paling alim seakan-akan dia yang paling suci sendiri.


Orang yang menetapkan dan mendukung hukuman rajam biasanya berargumen bahwa itulah yang diperintahkan di kitab suci atau dititahkan oleh utusan Tuhan. Mereka membaca kitab seperti seakan-akan itu berlaku di semua jaman. Padahal bandingkan, berapa berbedanya dunia kita sekarang dengan 2000 tahun yang lalu. Penulis keturunan Mesir dan Perancis, Amin Maalouf, mengatakan: “Tradisi memang harus dihormati, tetapi hanya sejauh tradisi itu dapat dihormati.” Artinya, tradisi yang buruk toh dapat dibuang tanpa kita harus merasa telah mengkhianati tradisi. Penyiksaan dapat kita hilangkan tanpa harus kita merasa bahwa kita tidak mematuhi hukum agama.


Karen Armstrong, pemikir agama dan penulis Sejarah Tuhan, menghimbau kepada para penganut agama di seluruh dunia melalui proyek kerja samanya dengan sejumlah pemuka agama yang tergabung dalam “Charter for Compassion” (Piagam Belas Kasih): agar semua agama di dunia kembali ke Nilai Emas (Golden Rule) yang diajarkan dalam agama. Golden Rule yang universal tersebut berbunyi: “Lakukan apa yang kamu ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika dibalik, artinya “jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika Anda ingin orang lain baik kepada Anda, maka jangan jahati dia dong. Jika Anda tidak ingin kriminal merajalela, jangan berikan hukuman yang negatif. Itulah mengapa di beberapa negara dengan hukum progresif, yang diterapkan kini adalah “Harm Reduction”, terutama dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang dan pelacuran.


Dalam pernyataannya, Karen menekankan pentingnya agama kembali mengajarkan bagaimana supaya kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan:


Compassion doesn’t mean feeling sorry for people. It doesn’t mean pity. It means putting yourself in the position of the other, learning about the other. Learning what’s motivating the other, learning about their grievances.” (Belas kasih bukan berarti menyesali keadaan orang lain. Bukan berarti merasa kasihan. Belas kasih berarti menempatkan diri Anda pada posisi orang lain, memahami orang lain. Memahami apa yang menjadi motivasinya, memahami keluh kesah mereka.)


Karen juga berkata kepada generasi ini, bahwa agama harus berevolusi. Jika tidak, agama itu akan ditinggalkan oleh pengikutnya, karena penganutnya melihat betapa agama itu malah terbelakang dan tidak menjawab tantangan jaman. Makanya saya tak heran bahwa banyak penganut kedua agama besar (Islam dan Kristen) yang menjadi atheis dan agnostik--seringkali dengan geram--karena mereka sadar bahwa agamanya keukeuh tidak mau fleksibel dan tidak bisa menjawab kebutuhan spiritual masing-masing individu. Itu karena kecenderungan oknum fanatik yang menafsirkan aturan agama secara tekstual, tidak melihat konteksnya.


Melihat konteks berarti membaca semangat jaman, membaca konteks sosial, semakin mengerti bahwa manusia harus menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih mana yang bermanfaat, mana yang tidak bagi kemanusiaan secara umum. Dengan membaca, berdiskusi, bertukar pikiran, bersikap terbuka, selalu bertanya, selalu ingin belajar, kita akan terhindar dari kebodohan dan kesempitan berpikir seperti katak dalam tempurung. Karena seperti kata filsuf Yunani, Socrates: “Hanya ada satu kebaikan, yaitu pengetahuan, dan satu kejahatan, yaitu kebodohan.”


Kebodohan adalah karena dia tidak berpengetahuan, dalam arti bahwa si orang itu menutup diri dari the best available knowledge di sekitar dia. Dia tidak mau membaca konteks jaman, tidak bisa membaca apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Itu artinya dia bersikap ignorant. Ignorance atau pengingkaran dalam hal ini tidak mau mendengar bahwa ada suara-suara lain. Suara yang lain itu niscaya selalu ada, perbedaan selalu ada, pluralisme itu sudah pasti. Dengan demikian, kebenaran dikontestasikan, di-floor-kan, dilempar ke ruang debat, dipertanyakan, ditelusuri akar-akarnya, yang nantinya akan ditemukan bahwa apa yang kita tahu itu sebenarnya terbatas, terpecah-pecah, terfragmen. Itulah juga mengapa Socrates bilang lagi, “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang tidak tahu”. Itu berarti, apa yang kita tahu sebagai kebenaran itu sifatnya selalu sementara, bergantung tempat, waktu dan dinamis, berbeda-beda dan tidak bisa diabsolutisasi atau difinalkan.


Jadi, apa yang perlu ditekankan oleh orang yang beragama adalah, maukah bersikap kritis terhadap apa yang kita anggap sebagai “kebenaran”. Sebab, apa yang bisa kita lakukan adalah menunda kebenaran dan bersemangat dalam pencarian. Akal sehat harus digunakan untuk menciptakan peradaban yang lebih baik, yang lebih memanusiakan manusia dengan menghormati atau tidak merendahkan jasad ini dengan melakukan penyiksaan atau hukuman mati. Sebab, justru dengan tubuh, akal kita bisa terbentuk menjadi pemikiran, peradaban, di mana kita hidup bertetangga dengan orang yang berbeda, bahkan orang yang pemikirannya tidak kita setujui sama sekali.


Wahai orang “sok” suci, jangan mengangkangi alam semesta yang lebih besar daripadamu

Hukuman rajam adalah sebentuk absolutisme yang dipegang teguh karena dianggap sebagai kebenaran atau hukum yang tidak bisa diganggu gugat. Di situ ada kecacatan dalam konsep berpikir logis dan merupakan iman yang dangkal, karena menganggap dirinya mampu menguasai kehendak alam semesta, padahal dia cuma manusia fana. Dia tidak sadar bahwa kita bersifat sementara, keadilan kita hanya sementara dan bisa dibuktikan salah di hari lain.


Sebab, dari mana dia tahu bahwa orang yang ini akan masuk neraka dan dirinya tidak? Dari mana dia tahu bahwa setelah mati kita akan ke surga atau neraka? Dari mana dia tahu bahwa di neraka ada setrikaan raksasa dan bahwa neraka dan surga masing-masing ada 7 lantai? Apakah dia pernah berkunjung ke sana dan balik lagi ke dunia manusia untuk bercerita? Apa kau benar-benar yakin? Dari mana dia yakin bahwa kita kalo mati akan ada kehidupan setelah mati dan bukan reinkarnasi? Dari mana dia yakin bahwa kalo kita mati akan ada reinkarnasi dan bukan kehidupan setelah mati? Kenapa bukan tidak ada apa-apa setelah kita mati? Kenapa Anda yakin juga dengan itu? Memangnya Anda sudah pernah mati?


Semua itu hanya konseptual, sesuatu yang belum pasti karena tidak ada bukti memadai. Dengan demikian, hanya eksis di dunia ide. Lalu kenapa kita masih direpotkan dengan urusan setelah kematian? Biarkanlah itu tetap jadi sesuatu yang di luar kuasa kita. Bukankah menjadi orang beriman adalah mengakui bahwa kita tidak berkuasa dan satu-satunya yang berkuasa adalah Sang Pencipta? Bahwa kita bagaikan butir pasir di tengah jagat raya yang tak terhingga? Jadi, bagaimana bisa seseorang menyatakan bahwa dirinya jauh lebih benar dan suci daripada orang lain, padahal dia sendiri juga tidak punya kuasa apa-apa?


“Berpikirlah layaknya makhluk fana”, begitu kata salah satu Delphic Maxims atau Pepatah Delphi yang saya dalami. Apa yang harus kita lakukan sebagai manusia sebenarnya tidak rumit: Kita hanya perlu berlaku dan berpikir sebagai manusia. Jangan menganggap bahwa kita dapat menjadi atau menyamai seperti Yang Abadi, padahal tidak mungkin mendefinisikan maksud Yang Abadi dan mereduksinya ke dalam sebuah kotak bernama “kebenaran” dan “keadilan”. Kita harus berpikir sesuai tabiat kita, bahwa ketika kita tidak tahu, ya kita tidak tahu, jangan belagak kita yang paling tahu atau paling suci sendiri.


Saya cuma berharap, umat beragama dapat membedakan beragama karena rasa takut dan beragama karena rasa takjub. Beragama karena takut masuk neraka adalah beragamanya orang bodoh, sebab dia menjadikan agama sebagai topeng untuk menutupi ketidaktahuannya dan belagak jadi orang tahu (bukan mengakui secara jujur bahwa dia tidak tahu). Dia juga menganggap bahwa dirinya lebih worthed daripada orang lain yang tidak beragama seperti dia.


Beragama karena rasa takjub adalah beragama dengan ugahari, sederhana, sambil mengakui bahwa ada alam semesta yang lebih besar daripada dia, bahwa dia mengakui kemanusiaannya dan tetap berpijak di bumi. Hukuman rajam itu berasal dari beragama karena rasa takut. Takut si pezina mengkontaminasi masyarakat, maka bunuhlah dia. Takut si pezina mengajak kita ramai-ramai ke neraka, mending bunuhlah dia saja sebagai tumbal atau kambing hitam. Padahal, siapa sih yang tak pernah berdosa? Bagaimana kita bisa tahu pikiran Tuhan bahwa orang itu lebih berdosa daripada kita? Atau bahwa Ibu A lebih berdosa daripada Ibu B? Anehnya, masih banyak orang yang ingin berlomba-lomba melempar batu pertama atau memaki dan meludahi paling keras si terdakwa yang menghadapi tiang gantungan.


Dengan demikian, saya berkesimpulan, sifat megalomania dalam diri pendukung dan penetap hukuman rajam adalah sifat yang senang mengangkangi alam semesta. Dia tidak tahu bahwa alam semesta punya caranya sendiri untuk menghukum yang bersalah dan itu bukan hak kita sebagai makhluk kecil, sebutir pasir di tengah jagat raya.


Dia tidak tahu bahwa ada karma, atau sebab akibat, atau nemesis (retribusi) atau Golden Rule. Bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Keangkuhan (hubris) bahwa dia merasa tahu kebenaran akan menghasilkan angkara murka. Akal dan penyelidikan yang tidak dioptimalkan akan menghasilkan kebutaan dan fanatisme. Hukuman yang merendahkan kemanusiaan akan membuat kita selalu melihat bahwa manusia dan nyawanya tidak ada nilainya seperti daun kering yang mati.


Malulah mereka yang merasa jadi wakil “kebenaran” Yang Abadi dan menghukum orang lain menurut apa yang dia ketahui (padahal dia tidak tahu apa-apa). Padahal nantinya mereka sendiri juga tidak bernilai apa-apa ketika digerogoti oleh cacing tanah. Siapakah kalian, wahai hakim, penguasa, ulama, algojo, masyarakat yang haus darah? Apakah kalian sendiri bersih dari noda dosa? Semut di seberang lautan terlihat, sementara gajah di pelupuk mata tak nampak--sepertinya itu yang terjadi pada kalian, wahai orang yang mengaku suci!



Jakarta, Jumat 18 September 2009

04.30

Grace Dwitiya Amianti



Foto: Mahmoud Asgari & Ayaz Marhoni, dua remaja yang dihukum mati dengan cara digantung, di kota Mashhad, Iran (19/7/05). Mereka dikenai tuduhan pemerkosaan anak di bawah umur, homoseksualitas, dan pencurian.
Sumber: http://www.ncr-iran.org/content/view/222/69/



Bookmark and Share

Selasa, 18 Agustus 2009

Terima Kasih, Hermes


Terima kasih, Hermes,

untuk jawabanMu atas doaku.

Kau berikanku kesempatan,

‘tuk bubuhkan

segores tinta hitam

di atas putihnya lembaran,

pertanda sah awal mula

jalanku sebagai karyawan.


Terima kasih, Hermes,

berbulan-bulan penantian

dituntaskan dengan kepastian

ku t’lah dapatkan pekerjaan.


Wahai Dewa pelindung perjalanan,

kehidupan publik dan perdagangan.

Bapa para pembicara dan persuasi,

Penguasa komunikasi dan transportasi.

Dewa pelindung dunia maya,

dunia beton dan gedung berkawat baja,

korespondensi dan interaksi massa.

Pemberi kecerdikan kepada petualang,

juga para pencuri, penjudi, dan pialang.


KarenaMu petaruh sejati jadi berani,

adu nasib, cari laba, hindari rugi,

adakan janji dan transaksi,

kejar prestasi dan beraksi,

dapatkan reaksi dan solusi.


KarenaMu kami mencari nafkah diri,

bekerja keras, membanting tulang setiap hari,

untuk makanan pokok kami,

yaitu nasi, gandum, maupun roti.


KarenaMu kehidupan ekonomi

tetap berjalan, modal tetap ditanam,

dan kami masih tetap berkarya,

serta mengurus rumah kami.


KarenaMu kami mampu

mengatur pemasukan dan pengeluaran,

tangkas mencari jalan ‘tuk lunasi hutang-hutang,

cerdik mencari jalan ‘tuk capai kekayaan.


Wahai Dewa yang ulung,

ajari aku fundamen terdasar dari ekonomi,

oikosnomos yang Kau ajari dulu di Yunani,

ilmu mengatur rumah tangga yang dimulai dari diri sendiri,

menjaga api Hestia agar tetap menyala,

yang artinya makanan selalu terhidang di meja,

supaya kami dapat mengucap syukur pada alam semesta,

dengan memberikan sedikit bagian dari konsumsi kami untuk Dewata,

karena kami telah mendapatkan berkat yang tak terhingga.


Karena itu semua, aku bersyukur, wahai Hermes,

Sang Pembawa Pesan dari Olympus,

yang sigap dan pekerja keras.


Ingatkan aku jika kusia-siakan pemberianMu,

tegurlah aku melalui Daimonku,

supaya Ia berikanku pelajaran berharga,

bahwa aku hanya manusia fana,

yang tak boleh biarkan sehari pun berlalu tanpa makna,

karena hidup cuma sekali saja.


Terima kasih, Hermes, padaMu kutujukan puisi ini,

kutuangkan air dan kubakar dupa yang wangi,

kukorbankan buah-buahan hasil bumi,

kupersembahkan sedikit hartaku serta puja-puji.

Khaire Theos...


Jakarta, Selasa, 23 Juni 2009

Kharis Androgynou


Bookmark and Share