Minggu, 13 Desember 2009

Mengenal Theologi Politheisme (Yunani)


Istilah-istilah politheis, monotheis, atheis, theis, henotheis, duotheis, pantheis, deis, dan lain-lain adalah hasil penamaan dari para ilmuwan sosiologi dan antropologi di masa modern (dengan meminjam etimologi dari bahasa Yunani). Ini adalah bagian dari proyek pencerahan agar ilmuwan Barat bisa ‘menamai’ dan ‘mengerti’ dengan jelas dunia di sekitarnya. Istilah politheisme sendiri diciptakan sebagai pembanding dari monotheisme.


Politheisme, dalam berbagai turunannya, yang bisa dikatakan sebagai keyakinan mula-mula sebelum datangnya agama Ibrahim (Yahudi, Kristen, Islam—selanjutnya disingkat YKI), sebenarnya adalah keyakinan yang sangat ‘natural’ sifatnya dibanding monotheisme YKI. Natural di sini berarti bahwa manusia pada dasarnya, pada awalnya, mencerap dunia dan alam semesta (kosmos) di sekitar dia hidup dengan persepsinya yang humanistik atau manusiawi. Dia mencerap dunia sesuai dengan apa yang dia alami sehari-hari, dan sangat lokal sifatnya, berdasarkan pada apa yang dia rasakan di sekitar dia. Oleh karena itu, politheisme biasa disebut dengan istilah ‘agama bumi’ atau ‘earth-based religion’.


Sedangkan monotheisme, terutama keyakinan YKI, tidak seperti itu. Mereka sangat mengandalkan wahyu dari langit, semacam wangsit. Oleh karena itu, mereka biasa disebut sebagai ‘agama langit’ atau ‘sky-based religion’. Tuhan YKI adalah tuhan yang maha esa, maha hebat, maha segalanya, sehingga dia bahkan bisa melangkahi hukum alam yang diciptakannya sendiri, misalnya dengan membuat mukjizat dan hal-hal yang sangat irasional. Politheisme terutama Hellenismos (Rekonstruksi Politheisme Yunani) tidak setuju dengan definisi tuhan maha esa (maha satu) yang maha hebat, maha segalanya, bisa melangkahi hukum alam yang diciptakannya sendiri, membuat mukjizat dan hal-hal yang sangat irasional, karena tuhan yang seperti itu sangat oxymoron, rancu, dan tidak dapat dipahami dengan akal sehat.


Hellenismos menekankan ketuhanan yang dapat dipahami dengan akal sehat (“The Gods of Reason”, seperti judul buku Timothy J. Alexander, seorang Hellenis). Selain itu, Hellenismos menekankan etika yang humanistik. Kami melihat konteks etika dengan kacamata manusiawi, mencari “ideal” atau yang terbaik dari dan untuk manusia, sehingga itulah yang menjadi hukum bersama. Tidak seperti agama YKI yang etikanya bagaikan jatuh dari langit, seperangkat ‘syariah’ dari tuhan di langit yang harus dijalankan manusia di bumi.


Menurut saya, politheisme lebih ‘natural’ buat manusia dibanding monotheisme. Saya pikir, ketika Nabi Ibrahim (Bapak kaum YKI) mengubah ‘posisi’ tuhan, yang tadinya di materi-materi yang eksis di sekitar kita, lalu pindah ke langit yang jauh, bahkan tak terjangkau oleh akal pikiran kita sebagai manusia biasa, justru membuat saya jadi jauh dengan ‘tuhan’ saya. Kenapa yang tadinya sudah dekat dibikin jauh? Ini tidak masuk akal dan sangat tidak manusiawi. Argumen Nabi Ibrahim kira-kira seperti ini: “Kenapa harus memuja matahari dan bulan? Seharusnya ada subjek yang lebih besar dari matahari, bulan, bintang, dll. Pasti ada sesuatu yang berdiri di belakang itu karena dia adalah pencipta semua benda langit itu, dan dialah yang seharusnya kita sembah.” Namun, orang seringkali tidak paham bahwa pemuja dewa-dewi bukanlah pemuja benda-benda yang ada di langit dan bumi (lengkapnya mengenai hal ini lihat di esai saya yang lain).


Sejumlah pertanyaan sulit yang tak terjawab oleh monotheisme
Agama YKI memuji konsep Ibrahim karena konsepnya lebih rasional. Konsepnya menekankan tuhan yang maha esa itu maha kuasa dan maha segalanya. Lagi-lagi menurut para Hellenis konsep itu justru tidak masuk akal. Kalau tuhan yang maha esa itu maha segalanya, lalu kenapa masih ada kejahatan di bumi ini? Kalau tuhan maha segala, omni-present (hadir di mana-mana), berarti kejahatan adalah bagian dari dia juga. Kalau orang membantah dan bilang bahwa kejahatan bukanlah bagian dari diri tuhan, tapi bagian dari iblis/setan/whatever, sekaligus mengatakan bahwa tuhan adalah maha segalanya, berarti sebenarnya yang mau dikatakan adalah ‘iblis juga bagian dari tuhan, dia adalah ciptaan tuhan juga, dibuat untuk menggoda manusia’.


Hal itu benar-benar berbenturan dan sangat tidak masuk akal. Kenapa tuhan yang katanya maha baik itu, tega menciptakan iblis dan kejahatan? Bagaimana mungkin kejahatan adalah juga bagian dari diri tuhan yang maha baik itu? Pasti dia itu tuhan yang skizofrenik. Tuhan yang baik sekaligus tuhan yang jahat. (Tanpa maksud melecehkan orang-orang yang bersetuju dengan konsep ‘skizofrenia’-nya filsuf Gilles Delleuze dan Felix Guattari. Istilah ‘skizofrenik’ yang saya maksud adalah ‘situasi yang teramat asing bagi manusia, bahkan bagi mereka yang ‘gila’ sekalipun.’)


Kalau YKI berargumen bahwa iblis diciptakan oleh tuhan sebagai ujian bagi manusia untuk menentukan apakah dia mau ikut jalan tuhan atau jalan iblis, berarti tuhan YKI memang tuhan yang egois. Karena dia adalah tuhan yang super-power dan maha benar, maka dia berhak menentukan bahwa orang-orang yang tidak mau meyakini bahwa dia itu benar, adalah orang-orang berdosa dan mereka adalah pengikut jalan iblis. Ini benar-benar tuhan yang childish, kejam, dan memperlakukan kita layaknya boneka. Dia seakan-akan mencemplungkan manusia ke bumi sebagai tempat ujian, “heh elu bertindak sesuai dengan keinginan gue, kalo kagak, imbalannya neraka!”


Sungguh malang kita diciptakan sebagai manusia. Kalau seperti itu, mendingan kita tidak usah diciptakan sekalian, kan? Iman terhadap tuhan yang seperti itu adalah iman yang benar-benar dangkal, kita cuma dikasih jalan dua: ke surga atau ke neraka. Manusia tampak berusaha keras sepanjang hidupnya untuk tidak menyimpang ke neraka, bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi atau menyangkal kemanusiaannya sendiri. Benar-benar tuhan yang non-sense, irasional, otoriter, dan kejam.


Hellenismos adalah hard polytheism
Oleh karena itu kita harus membedakan antara hard polytheism dan soft polytheism, atau politheisme keras (politheisme murni) dan politheisme lembut (yang cenderung mengarah ke monotheisme). Hellenismos adalah hard polytheism, karena dia tidak setuju dengan konsep soft polytheism bahwa para dewata yang banyak itu sebenarnya cuma cerminan dari satu dewa/dewi. Soft polytheism menganggap bahwa para dewata yang jamak sebenarnya cuma pembanyakan dari satu dewa atau the great cosmic being (seperti henotheisme), atau dari satu dewa dan satu dewi (seperti konsep dualisme dalam Wicca, salah satu agama di bawah payung Neo-Paganisme).


Hellenismos tidak seperti itu. Walaupun Hellenismos percaya bahwa Zeus adalah dewa yang ‘mengepalai’ semua dewa, tapi dewa-dewi yang lain bukanlah pembanyakan dari diri Zeus. Mereka adalah entitas yang berbeda satu sama lain. Walaupun Zeus seringkali diceritakan bahwa Dia selalu menuntut kepatuhan dari dewa-dewi lainnya, tapi toch pada prakteknya semua dewa-dewi bertindak secara otonom dan masing-masing adalah pribadi yang unik. Masing-masing dewata memiliki wilayah kekuasaan/realm sendiri-sendiri yang bahkan sering bertentangan satu sama lainnya. Bagi yang sudah terbiasa dengan konsep monotheisme memang bakalan agak susah memahami konsep politheisme, karena kita dari kecil rata-rata dibiasakan untuk memercayai bahwa monotheisme adalah kebenaran absolut dan konsep lain dianggap tidak masuk akal. Apalagi ayat 1 dalam Pancasila menekankan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.


Lalu kenapa saya bisa percaya dengan konsep hard polytheism dalam Hellenismos? Karena saya memang tidak setuju dengan konsep monotheisme, juga soft polytheism yang cenderung mengarah pada monotheisme. Bagi saya, politheisme murni seperti yang ada dalam Hellenismos lebih masuk akal, karena “tuhan(-tuhan)” yang saya percaya akan lebih ramah dan lebih kaya jika jumlahnya banyak dan sifatnya berbeda-beda, ketimbang cuma satu atau dua dewa/dewi yang sifatnya ‘ya begitu aja’ atau justru ‘maha segalanya’. Bagi saya, Mereka (saya lebih suka menyebut ‘tuhan(-tuhan) saya dengan istilah ‘Mereka’ atau ‘Dewata’, ketimbang ‘tuhan’ doang atau ‘pencipta’) membuat hidup saya jadi ramai dan berwarna-warni. Saya bisa berinteraksi dengan beragam sifat dan wajah Mereka yang bertolak belakang satu sama lain, sering bertengkar, tapi sebenarnya Mereka fine-fine saja dan rukun. Bahkan, di balik gontok-gontokan itu Mereka saling menghargai satu sama lain dan selalu berpesta bersama (bahkan mabuk bersama sampai teler dan pingsan!).


Mungkin itu alasannya mengapa Dewa-Dewi Olympus sering disebut sebagai “keluarga” (dan dalam mitologi Mereka memiliki hubungan darah, apakah ayah, ibu, anak, paman, tante, keponakan, dll). Mereka memang sering cekcok, tapi toch Mereka tetap tidak dapat berpisah. Walaupun saya dan umumnya Hellenis punya ketertarikan terhadap satu atau beberapa Dewa/Dewi ketimbang yang lain, tapi kami tahu bahwa Dia adalah bagian dari Pantheon yang besar, bagian dari keluarga yang disebut Olympus. Oleh karena itu, kami juga tidak lupa memuja dan menghormati para Dewa/Dewi lainnya. Ini adalah agama yang semarak dan tidak egois. Agama yang ramah dan masuk akal (terutama bagi orang yang percaya akan keniscayaan pluralisme dalam kehidupan. Buat orang-orang yang—entah kenapa—mengharamkan pluralisme, tentu saja hal ini susah dimengerti!)


Inilah bagian yang teramat menyentuh saya secara feeling atau sense and sensibility. Konsep dewata yang seperti ini sebenarnya mencerminkan kondisi manusia, bahwa di bumi ini kita benar-benar beragam, bertolak-belakang satu sama lain, tapi why not kita rukun? Toh sebenarnya kita ini ya just living the life, jadi kenapa perbedaan itu dibikin ribut? Ini juga menjadi penjelasan mengapa para Dewata Olympus itu sangat antropomorfik alias sering digambarkan lewat patung dan gambar berbentuk manusia. Sosok Mereka sangat manusiawi, dengan wajah dan tubuh mirip manusia, kelakuan Mereka juga mirip manusia. Kaum Hellenis memahami kenapa orang Yunani menyimbolkan Dewata mereka secara antropomorfis. Alasannya adalah, dengan memuja dewata dalam gambaran itu, kita akan lebih mudah memahami tabiat Mereka. Masing-masing dewa-dewi punya kekuatan yang berbeda-beda, punya maksud dan tujuan yang berbeda. Adakalanya mereka bekerja sama, namun lebih sering berbenturan. Ini masuk akal. Lihatlah alam semesta (kosmos) yang chaos ini. Kacau tapi somehow tetap teratur. (Lengkapnya tentang filosofi ini, lihat esai saya yang lain).


Karena Dewata memiliki maksud dan tujuan yang berbeda, masing-masing juga punya pilihan untuk melakukan ini atau tidak melakukan itu. Ini sama dengan ras manusia. Segala mitos, tradisi, dan apapun kisah yang menceritakan Dewata, punya satu pesan moral: bagaimana Dewata bergelut dengan pilihan-pilihan Mereka. Bagaimana aksi Mereka dapat berkontribusi kepada pilihan-pilihan yang diambil manusia. Bahkan para Dewata pun tidak kebal dengan pilihan-pilihan yang ada, Mereka juga sering salah pilih (bandingkan dengan Tuhan YKI yang seolah-olah tindakannya selalu benar). Tapi toch akhirnya amanat “mana yang benar” diserahkan kepada manusia itu sendiri. Theologi Yunani bukan semata-mata soal “benar” atau “salah”, tapi lebih kepada pilihan sikap/aksi kita, apakah menimbulkan kebaikan atau justru malapetaka. Tentunya, yang namanya pilihan, pasti banyak. Inilah ‘ruh’ atau ‘jiwa’ dari politheisme dalam Hellenismos, yaitu keberagaman.


Sebenarnya hal ini juga menjelaskan kenapa umat dari YKI itu saling gontok-gontokan antar mereka sendiri (padahal mereka, ironisnya, adalah saudara sekonsep, yaitu sama-sama ’umat Ibrahim’/‘umat ahli kitab’/Ahlul Kitab/People of the Book). Alasan saya mengkritik kaum monotheis YKI yang cupat adalah terutama karena sikap mereka yang merasa diri mereka paling benar. Sering kita lihat bagaimana mereka menyebarkan ajaran agama dengan cara yang cenderung memaksa. Tak heran, banyak orang yang tidak suka lagi dengan ajaran ketiga agama besar tersebut dan beralih menjadi atheis/agnostik. Mungkin saja sikap megalomania atau merasa benar sendiri itu berasal dari ‘psyche’ atau kesadaran jiwa mereka. Psike mereka sudah dikondisikan dengan konsep monotheisme, bahwa hanya ada satu tuhan yang benar. Di luar tuhan saya, itu tuhan yang palsu, salah, dan musyrik. Pandangan seperti itu pasti ditolak habis oleh para Hellenis, karena pandangan seperti itu sangat cupat dan tidak manusiawi. Sangat tidak seimbang dan berat sebelah, sangat tidak adil. Makanya, hal-hal semacam pemusnahan bid’ah, pembakaran buku, pembantaian umat agama tertentu, pemaksaan agar orang memeluk agama tertentu, perang suci (jihad), martir atau syahid, tidak ada dalam kebudayaan Yunani/Romawi kuno, karena buat orang Yunani/Romawi hal-hal seperti itu tak masuk akal karena pandangan dunia (worldview) mereka memang bukan begitu.


Sudut pandang yang beda terhadap ketuhanan
Plato bilang, “Kecemburuan berada di luar penjelasan keilahian”. Yang Ilahi tidak bisa diterjemahkan secara eksklusif, karena Mereka melampaui sekat-sekat perbedaan (tidak terbatas oleh perbedaan). Dalam mitologi, masing-masing dewa-dewi memang menuntut pemujaan yang layak dari manusia, namun tidak pernah sekali pun Mereka bilang bahwa kita tidak boleh memuja dewa-dewi yang lain. Contohnya begini, dalam karya Euripides “Hyppolitus”, Dewi Aphrodite menghukum Hyppolitus karena Hyppolitus “nyuekin” Dewi Cinta tersebut. Alasan Hyppolitus karena dirinya adalah seorang pemburu, makanya dia lebih suka memuja Artemis (Dewi Pemburu) dan mengesampingkan pemujaan terhadap Dewata lainnya. Sikap Hyppolitus sudah keterlaluan di mata Aphrodite. Suatu ketika, Hyppolitus lewat di depan patung Artemis dan Aphrodite yang berada di tempat yang sama. Kesalahannya adalah, dia memberi sesajen kepada Artemis saja, tapi Aphrodite tidak dikasih dan “dicuekin”. Parahnya lagi, Hyppolitus menghina Aphrodite sebagai “dewi yang gak penting”. Tentu saja, Aphrodite murka dengan sikap Hyppolitus tersebut. Itulah konsekuensi politheisme. (Agak mirip memang, dengan “apakah lelaki bisa adil jika poligami”, but that’s another story.)


Di situ sebenernya ada “pesan moral” politheis yang justru bertolak belakang dengan “pesan moral” monotheis: kita tidak bisa neglectful bahwa keilahian itu jamak. Hyppolitus itu seperti monotheis fanatik yang berkata bahwa “hanya satu tuhan yang benar, jadi gue nyembahnya satu aja, karena yang lain itu bukan tuhan.” Jadi, dia merasa berhak untuk bersikap tidak hormat terhadap “tuhan lain”. See...sikap kayak gitulah yang kerap dilakukan orang-orang yang gemar mengkafirkan orang beragama lain. Padahal tidak pernah sekali pun Aphrodite memerintahkan kepada Hyppolitus: “Hei, Hyppolitus, kamu gak boleh memuja Artemis! Sembahlah aku saja!” Tidak ada sama sekali dewata yang ngomong seperti itu, yang ada ialah Mereka berpesan, “Jangan lupakan bahwa aku (dan dewa-dewi yang lain-lain) itu ada dan juga patut dihormati. Jangan ngerasa benar sendiri dengan tuhan eksklusifmu”.


Yang jelas, Dewata tidak peduli apakah kita menyembah tuhan yang lain di samping Mereka. Kasarnya begini, kata Mereka, “Sebodo amat, elo mau nyembah buah nangka kek, mau nyembah Blackberry kek, selain nyembah gue juga, gue gak peduli.” Tapi yang penting bagi Mereka adalah, apakah kita dengan ikhlas memberikan pemujaan yang layak terhadap masing-masing Dewata, sehingga tidak ada satu pun dari Mereka yang merasa tidak dihormati “hanya karena kita gak begitu suka dengan dewa yang ini atau yang itu” atau karena “dewa yang ini atau yang itu gak terlalu berpengaruh buat hidup gue”. Ini adalah cara pandang yang berbeda dalam melihat ketuhanan. Menurut saya, theologi seperti itu membuka cakrawala berpikir kita. Bandingkan dengan konsep Tuhan YKI yang cenderung menyempitkan ketuhanan: “Tiada tuhan selain Allah” (Islam), “Aku (Yesus) adalah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada yang datang kepada Bapa selain melalui Aku” (Kristen), dan “Aku adalah allah yang pencemburu, jangan ada allah lain di sampingku” (Yahudi).


Politheisme tidak memungkinkan absolutisme
Oleh karena itu, dalam politheisme Yunani/Romawi tidak ada konsep absolut yang berlaku bagi semua pengikutnya. Kalaupun ada tradisi agama yang mengikat seluruh warga kota, itu karena kebiasaan yang berlaku dalam suatu polis (negara-kota, misalnya Athena, Sparta, Thrake, dll.). Lain polis, lain pula peraturan “agama” yang dijalankan. Jadi, kebiasaan di Athena berbeda dengan di Sparta, di Korinthus, di Siprus, di Lesbos, dan lain-lain. Yang jelas, dalam Hellenismos, tidak ada “kitab suci” dan tidak ada “nabi”. Percayalah, politheisme tidak memungkinkan adanya seorang nabi utusan tuhan dan sebuah buku suci yang dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena memang tidak mungkin untuk melakukan itu!


Bahkan, kependetaan atau keimaman dalam Hellenismos tidak sama dengan konsep imam di agama politheis lainnya, seperti Hindu, agama Babylonia, agama Mesir, agama Kanaan, dll. Di masa Yunani Kuno, pendeta (lelaki: hiero, perempuan: hiera) tidak berasal dari kasta “brahmana” atau golongan tertentu yang dianggap lebih tinggi atau lebih suci. Karena sistem politik Yunani Kuno adalah demokrasi, pendeta pun dipilih oleh warga kota secara rombongan/banyakan. Satu-satunya pertimbangan untuk dipilih adalah karena dedikasi orang tersebut terhadap dewa/dewi tertentu, bukan karena dia tampak lebih suci dibanding warga lainnya. Bahkan, kependetaan bisa dibeli dengan uang jika memang dia ingin memimpin upacara. Di masa itu, pendeta adalah semacam jabatan publik karena agama Yunani adalah agama publik/sipil, bukan seorang “wakil tuhan yang dikhususkan” atau semacam itu. Mereka hanya melayani upacara agama publik di kuil kota. Yang jelas, upacara-upacara yang sifatnya kecil di tingkat keluarga tidak pernah dipimpin oleh pendeta. Jadi, upacara kelahiran bayi, pernikahan, dan kematian dipimpin oleh kepala keluarga atau anggota keluarga lainnya yang ditunjuk, bukan pendeta atau ulama/penghulu seperti agama pada umumnya.


Di sisi lain, Hellenismos memang mengakui adanya “7 orang suci/bijak” atau “The Seven Sages”. Menurut sejarah arkeologis, salah satu dari mereka adalah Thales, filsuf Yunani pertama yang meneliti alam semesta. Mereka adalah para pendeta Dewa Apollo yang menulis Pepatah Delphi (Delphic Maxims) yang diyakini sebagai amanat dari Apollo mengenai kebijaksanaan. Tapi mereka tidak lantas “suci”, dalam arti lepas dari kesalahan manusiawi. Kaum Hellenis modern saat ini jelas memiliki kesadaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan memperlakukan Delphic Maxims sesuai konteksnya. Delphic Maxims tidak serta-merta dianggap sebagai “suara tuhan”. Contohnya, salah satu maksim berbunyi: “Kendalikan istrimu”. Kaum Hellenis modern memahami bahwa maksim tersebut harus dimaknai sesuai konteks sosial yang berlaku sekarang. Salah satu langkah adalah seperti yang dilakukan seorang Hellenis feminis dengan memberikan makna baru terhadap maksim tersebut, yaitu: “Kendalikan rumah tanggamu”. Itu bukti bahwa nilai-nilai agama yang patriarkal dan misoginis peninggalan masa lampau dapat dibuang kalau memang penganutnya bersedia!


Inilah mengapa Hellenismos adalah juga agama yang kontekstual, karena salah satu tugas dari Hellenismos (Rekonstruksi Politheisme Yunani) adalah mengadaptasikan agama Yunani Kuno ke dalam konteks masa kini. Beberapa hal tetap dipertahankan, beberapa hal memang harus diubah. Saya kira, ini sesuai dengan pesan Karen Armstrong, peneliti agama dan penulis buku Sejarah Tuhan. Karen mengatakan, agar bisa bertahan, agama harus berevolusi dan mengikuti semangat jamannya. Karena kalau tidak, agama itu lama-lama menjadi agama yang terbelakang dan kelak akan ditinggalkan oleh pengikutnya.


Disarikan dari berbagai sumber
Jakarta, Sabtu, 12 September 2009
Kharis Androgynou

Bookmark and Share